KISAH - KISAH DALAM AL-QUR’AN (IBRAHIM DAN ISLMAIL)
Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Studi
Al-Quran dan Hadist Teori dan Metodologi”
Disusun Oleh:
Yudha Fitriani (17200011003)
Sinta Rahmatil
Fadhilah (17200010092)
Dosen
Pengampu:
Dr. H. Akhmad
Patah, M.Ag
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
PASCASARJANA INTERDISIPLINERY ISLAMIC STUDIES
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Alhamdulillah, ucapan
syukur yang tiada hentinya kepada Allah ta’ala atas segala karunia yang telah
diberikan kepada kita semua dengan sifat Maha Pemurah-Nya. Terutama atas
anugerah akal, pikiran, dan waktu yang masih diberikan sampai saat ini, karena
dengan anugerah itu pula, kami bisa menyelesaikan makalah ini. Serta tak lupa
mengucapkan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga
kita mendapatkan syafaat beliau di akhirat kelak. Amiin.
Serta ucapan terimakasih kami ucapkan kepada
dosen pengampu mata kuliah Studi Qur’an dan Hadist Teori dan Metodologi bapak Dr. H. Akhmad Patah, M.Ag yang telah membimbing kami dan
mentransfer banyak ilmu kepada kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kami sangat menghargai kritikan, masukan, dan
tanggapan yang membangun dari pembaca sekalian. Apabila ada kesalahan dan
kekurangan dari penulisan ataupun isi dari makalah kami, kami mohon maaf.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya.
Yogykarta, 20 Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
diturunkan sebagai petunjuk yang diberikan untuk manusia ke arah tujuan yang
terang dan jalan yang lurus dengan menengakkan asas kehidupan yang didasarkan
pada keimanan terhadap Allah dan risalah-Nya serta memberikan hal yang telah
lalu, kejadian-kejadian yang sekarang juga berita-berita yang akan datang.[1]
Al-Qur’an
merupakan kitab suci bagi umat islam yang relevan sepanjang masa. Hal ini
sangat terlihat pada petunjuk-petunjuk yang menjangkau seluruh aspek kehidupan.
Adapun suatu peristiwa yang terdapat sebab dan akibat dapat menarik perhatian
para pendengar. Apabila dalam peristiwa tersebut terselip pesan-pesan dan
pelajaran berkaitan dengan kisah-kisah bangsa terdahulu, serta adanya rasa
ingin tahu merupakan faktor paling kuat untuk menanamkan kesan pada peristiw
atersebut ke dalam hati.
Telah diyakini
bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-ajarannnya bersifat
variatif dan dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa informasi terkait
perintah dan larangan, serta ada juga yang dimodifikasi dalam bentuk deskripsi
kisah-kisah yang mengandung ibrah, dapat dikenal dengan istilah “kisah-kisah
dalam Al-Qur’an”.[2]
Sebagai produk
wahyu, kisah-kisah dalam Al-Qur’an tentu sangat berbeda dengan cerita-cerita pada
umumnya, karena adanya karakteristik yang terdapat dalam masing-masing kisah.
Fenomena kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya sangat
berkaitan dengan sejarah. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan bagian-bagian
dari sejarah sebagai pelajaran kepada umat manusia dan dapat menarik manfaat
dari peristiwa-peristiwa sejarah.[3]
Salah satu kisah
yang terdapat di Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim. Kisah ini tersebar di
dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an. Nabi Ibrahim memberi contoh sikap atau perilaku
manusia terhadap Tuhan, dengan imannya yang kuat, kesabaran, ketawakalan,
keikhlasannya yang selalu di uji oleh Tuhan. Ia juga diceritakan oleh Al-Qur’an
telah “menemukan” pengertian tentang tuhan dengan menggunakan akal pikirannya.
Singaktnya, ia adalah imam dan juga suritauladan
yang baik bagi umat manusia.[4]
Adapun kisah
kelahiran Nabi Ismail yang merupakan putera Nabi Ibrahim dengan istrinya Siti
Hajar. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah untuk diberikan keturunan yang baik,
lalu Allah memberikan kabar gembira bahwa doa itu akan segera dikabulkan.[5]
Penemuan Nabi
Ibrahim mengenai pengertian tuhan atau yang pantas disembah atau dimintai
pertolongan, sebagaimana ditulis ‘Abbas al-‘Aqad dalam Abu al-Anbiya yang
dikutip oleh Quraish Shihab, merupakan: “penemuan manusia yang terbesar dan
yang tak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan. Ia tidak dapat
dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik atau rahasia-rahasia atom,
betapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut yang semua itu dikuasai
oleh manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang awalnya tunduk kepada
alam menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik dan buruknya. Penemuan
manusia dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tetapi
kesewenang-wenangannya tidak mungkin dilakukan selama penemuan Ibrahim a.s.
penemuan tersebut berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan
makhluk dengan tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya”[6]
Demikian
pentingnya posisi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bagi umat manusia terkait dengan
ketauhidan. Maka Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk memerintahkan Nabi Muhammad
SAW dan pengikut-pengikutnya untuk mengikuti millah atau agama Nabi Ibrahim
sesuai dengan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu,
akan dijelaskan mengenai dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, mulai dari
kelahiran hingga kewafatannya. Serta nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil
sebagai pelajaran bagi umat manusia.
B.
Rumusan
Masalah
Mengacu pada
latar belakang di atas, maka selanjutnya akan diarahkan untuk menjawab rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud kisah dalam Al-Qur’an?
2.
Bagaimana Kisah
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Al-Qur’an?
3.
Nilai-nilai
kehidupan apa saja yang terkandung dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ?
C.
Tujuan
Dari
rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian kisah dalam Al-Qur’an
2.
Untuk mengetahui
dan memahami kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Al-Qur’an
3. Nilai-nilai
kehidupan apa saja yang terkandung dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kisah Dalam Al-Qur’an
1.
Pengerttian
kisah Al-Qur’an
Dari segi bahasa
kata kisah berasal dari bahasa Arab al-qhashshu
atau al-qishshatu yang berarti
cerita.[7]
Adapun literatur lain menyebutkan kisah secara bahasa adalah cerita, kisah,
hikayat, atau bisa juga disebut mencari jejak (QS. Al-Kahfi : 64), menceritakan
kebenaran (QS. Al-An’am : 57) menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi
(QS. Yusuf : 5) dan cerita tersebut berurutan (QS. Ali Imran : 62).[8]
Jika
dilihat secara istilah kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan
dalam masa-masa yang saling berurut-urutan.[9]
Maka qashash Qur’an berarti kabar-kabar Qur’an tentang keadaan-keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi tentang sejarah bangsa-bangsa dan keadaan negeri-negeri zaman dahulu.
Adapun
pengertian kisah dalam Al-Qur’an menurut Al Mujub dalam Nadzariyat Yahlilliyat
fi al Qishas Al-Qur’an, menurutnya kisah Al-Qur’an merupakan segaja bentuk
gambaran sejarah yang mana terdapat nilai-nilai kebajikan untuk memperbaiki
kebejatan.[10]
Maka
dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan tentang pengertian kisah
dalam Al-Qur’an adalah cerita tentang masa lalu baik itu berupa cerita nabi,
keadaan umat zaman dulu, peristiwa-peristiwa zaman dulu yang sarat akan nilai,
kebaikan, dan pelajaran.
2.
Karasteristik
kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Sebagai
produk wahyu, tentu saja kisah dalam Al-Qur’an berbeda dengan kisah dongeng,
novel atau cerpen hasil kreasi manusia. Kisa-kisah dalam Al-Qur’an merupakan
karya agung yang memiliki tema-tema tertentu, tujuan-tujuan, dan materi terkain
tentang agama yang erat kaitannya dengan sejarah.
Kisah
dalam Al-Qur’an mempunyai karasteristik tertentu yaitu pengulangan mempunyai
tekanan yang berbeda setiap episode kisah,pengulangan bervariasi dalam cara dan
tujuan kisah sehingga batang tubuhnya sama sehingga tidak membosankan, dan
disampaikan dengan bahasa yang lugas serta dalam kisah memberikan kesempatan
untuk mengembangkan pola piker yang kreatif. Hanya saja pengulangan
kisah-kisah itu dalam kalimat yang
berbeda, kadang singkat, padat bahkan panjang lebar.
3.
Tujuan
kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Segala
sesuatu yang tertuang di dalam Al-Qur’an mempunyai tujuan tertentu, begitupun
juga kisah-kisah yang ada di dalam A-Qur’an juga memiliki tujuan, yaitu sebgai
berikut :
a. Untuk
menjelaskan dasar-dasar dakwah dan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para rasul
b. Mengabadikan
usaha-usaha para nabi dan mengungkapkan bahwa nabi-nabi dahulu adalah benar.
Ismail
Lubis menambahkan bahwa menurut tinjauan pendidikan kisah mempunyai banyak
faedah di antaranya :
a. Kisah
mendatangan kesan yang dalam bagi anak-anak dan orang dewasa, hanya saja perlu
penyesuaian tema dan metode
b. Kisah
dapat menyentuh rasa dan logika orang yang terpelajar ataupun tidak
c. Kisah
dapat mengalihkan pengertian semata, ke dalam bentuk nyata
B.
Narasi
Tentang Nabi Ibrahim dan Ismail
Nabi
Ibrahim merupakan salah satu nabi yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan
setelahnya, sosoknya memiliki hikmah dan
banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari kisahnya. Nabi Ibrahim
memiliki nama lengkap Ibrahim bin Azar atau Tarikh (250) bin Nahur (148), bin
Sarugh (230), bin Raghu (239), bin Faligh (439) bin Abir (464) bin Syalih (433)
bin Arfakhsyadz (438) bin Sam (438) bin Nuh (1.780 tahun).[11]
Dalam
literatur lain menyebutkan bahwa nama dan usia silsilah nabi Ibrahim adalah
Ibrahim bin Terah (250 tahun), bin Nahor (148), bin Serug (230), bin Rehu
(239), bin Peleg (439) bin Eber (464), bin Selah (433), bin Arpakhsad (438),
bin Sam(600), bin Nuh (1.780).[12] Bahkan ada juga yang mengatakan Ibrahim bin
Nakhur bin Sarugh bin Ra’u bin Faligh bin Abir bin Shaleh bin Arfakhsad bin Sam
bin Nuh.[13]
Dari beberapa perbedaan maka lebih merujuk kepada penulisan dan penyebutannya
saja, hal tersebut dikarenakan penulis berasal dari daerah yang berbeda
terlepas dari benar atau salahnya.
Nabi
Ibrahim lahir sekitar 2295 SM di Damsik
(Bazrah) di gunung Qasiun adapun ahli biografi dan ahkli tarikh menyebutkan
bahwa Ibrahim lahir di Babil, Kaldaniyua, Iraq. Beliau lahir ketika orang
tuanya berusia 75 tahun, anak tertua dari 3 bersaudara setelahnya lahir Nahur
dan Haran.[14]
Adapun referensi lain menyebutkan bahwa Ibrahim lahir di Ur (Urkasdim), sebelah
selatan Babylon daerah Iraq selatan, ayahnya bernama Azar bin Nahur dan ibunya
Buna binti Kartiba.[15]
Nabi
Ibrahim dilahirkan di tengah masyarakat yang penuh dengan kemusyrikan dan
kekufuran, ayahnya seorang pembuat patung, dan pada saat itu raja yang berkuasa
adalah raja Namrudz bin Faligh, bin Abir bin Shalih bin Arfakhsyadz bin Sam bin
Nuh yang berkuasa selama 400 tahun di
kerajaan Babylon. Namrud sangat gelisah dengan firasat yang beliau dapatkan
bahwa akan lahir seorang anak laki-laki yang akan menggulingkan kekuasaannya.
Sehingga beliau mengeluarkan undang-undang tentang anak laki-laki yang baru
lahir harus dibunuh. Namun ayahnya Ibrahim tidak tega untuk membunuh bayi
Ibrahim, maka beliau memutuskan untuk membuang bayi tersebut kehutan belantara,
beliau mengira Ibrahim akan mati namun Allah menyelamatkan Ibrahim karena Allah
ingin Ibrahim agar menjadi utusan-Nya untuk menyiarkan agama tauhid
(monoteisme).
Ketika
di hutan belantara Ibrahim diberi makan oleh Allah melalui jarinya, yang mana
akan keluar madu jika beliau menghisap jarinya, sehingga beliau tidak kehausan
dan kelaparan. Ketika azar dan istrinya menengok anaknya, mereka terkejut
karena keadaan Ibrahim diluar akal dan dugaannya. Sehingga ketika undang-undang
tentang membunuh anak laki-laki dicabut mereka membawa Ibrahim pulang ke rumah.
Nabi Ibrahim tumbuh sehat jasmani dan juga cerdas otaknya.[16]
Nabi
Ibrahim menggunakan akal sehat dalam mencari tuhan, beliau tidak meyakini apa yang
diyakini oleh orang-orang pada masanya. Awalnya beliau menganggap bintang yang
menerangi malam namun sinarnya hilang ketika muncul bulan terang (QS. Al An’aam
: 76), lalu kemudian Ibrahim menyembah bulan, namun beliau kecewa karena bulan
juga tidak selamnya muncul, bulan hilang ketika fajar tiba (QS Al An ‘aam 77),
ketika di pagi hari sinar matahari terang menderang menyinari bumi maka beliau
mengira telah menemukan apa yang dicarinya, namun matahari juga sirna ketika
malam tiba (QS Al An’aam 78) dan Nabi Ibrahim pun terus mencari siapa Tuhannya
yang memilki Kebesaran dan Kemuliaan, yang menciptakan, memelihara dan
menghilangkan jagad raya serta seluruh isinya di langit, di bumi dan diantara
keduanya (QS Al An’aam 79). Sampai pada akhirnya Ibrahim diperlihatkan
Keagungan dan Kekuasaan Tuhannya (QS Al An’aam 75).[17]
Nabi Ibrahim
menyadari apa yang diperbuat kaumnya dan ayahnya adalah sesat akibat kebodohan
mereka yang tidak mau berfikir. Nabi Ibrahim menyangkal apa yang disembah oleh
ayahnya adalah hal yang masuk akal (Q.S Ash-Shaaffat: 95-96). Dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa kaumnya menyembah patung pahatan yang mereka buat
sendiri (Q.S Al-An’am: 74), Nabi Ibrahim menjelaskan bahwa mereka berada dalam
kesesatan yang nyata. Namun keluarganya berkilah bahwa keyakinan itu adalah
warisan leluhur mereka (Q.S Al-An’am: 80-83), mereka menakut-nakuti Ibrahim dan
meyakininya bahwa beliau akan mendapat murka dari berhala-berhala sesembahan
mereka. Nabi Ibrahim bersikukuh bahwa beliau tidak takut kepada tuhan-tuhan
mereka, beliau hanya takut kepada Allah. Sampai pada akhirnya beliau mendapat
firman untuk mempertebal imannya.[18]
Dalam dialog
Nabi Ibrahim dengan ayahnya, beliau di anugerahi suatu pemikiran yang luar
biasa dan keberanian untuk mengemukakan pendapatnya agar ayahnya memperoleh
kebenaran yang sesungguhnya, namun ayah Nabi Ibrahim sangat marah atas perdapat
dari anaknya, ayah mengusir dan mengancap Nabi Ibrahim akan melemparnya batu
kepada beliau sampai mati. Waalaupun ayahnya marah NAbi Ibrahim tetap berdo’a
kepada Allah untuk mengampuni ayahnya (QS. Maryam : 42-46).
Setelah
pendapat Ibrahim ditolak oleh ayahnya bahkan di usir, beliau mulai menyebarkan
dakwah kepada kaumnya untuk meninggalkan peribadatan berhala-berhala. Nabi
Ibrahim terus berjuang untuk membasmi kemusyrikan namun kaumnya bersikeras
menolak. Kaumnya menyanyakan apakh nabi Ibrahim main-main, dan beliau menjawab
bahwa beliau tidak main-main dan mempunyai bukti yang tak terbantah. Kemudian
nabi Ibrahim diam-diam menghancurkan berhala-berhala dan membiarkan berhala
yang besar tetap utuh. Sampai pada akhirnya ketika mereka mengetahui bahwa
berhalanya hancur, mereka beramai-ramai menangkap nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim
mengatakan bahwa pelaku perusakan adalah berhala yang paling utuh dan menyuruh
kaumnya untuk menanyakan kepada berhala yang paling besar tentang kejadian
tersebut. Namun kaumnya terkejut dan menganggap permintaan Ibrahim adalah
sesuatu yang konyol. Ketika Ibrahim mendengar jawaban mereka, Ibrahim langsung
menyeru agar mereka menganut agama tauhid. Mereka merasa terpojok, kemudian
mereka menjatuhkan hukuman bakar kepada beliau, namun Allah memberikan karunia
yang banyak kepada nabi Ibrahim yaitu menyelamatkan beliau dari kebakaran dan
kekejaman kaumnya. (Q.S Al-Anabiya:51-73).[19]
Setelah
dewasa nabi Ibrahim menikah dengan Sarah. Sarah merupakan wanita mandul yang
tidak dapat mempunyai anak. Pada saat nabi Ibrahim hijrah dari Mesir ke Kan’an,
Fir’aun memberikan hadiah yaitu Siti Hajar binti Sanan Bin Alwan yang kemudian
dijadikan budak oleh Siti Sarah. Siti Sarah menyarankan Ibrahim untuk menikahi
Hajar karena Siti Sarah tidak dapat memberikan keturunan. Setelah mendapat
ijin, Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar dan dianugerahi anak pertama yaitu Nabi
Ismail.[20]
Sebelum Nabi Ibrahim wafat, beliau jatuh sakit dan meninggal pada usia175 tahun
dan dimakamkan di goa di daerah Hebron. Ada juga yang mengatakan bahwa nabi
Ibrahim meninggal pada usia 170 tahun dan 200 tahun.[21]
Nabi
Ismail (1911 – 1779 SM ) merupakan putera pertama Nabi Ibrahim dengan istri keduanya
Siti Hajar. Seperti halnya sang kakak Ishaq, Ismail juga lahir di Al-Khalil
(Hebron), wilayah Kanaan (palestina). Namun ketika beliau berusia 2 tahun Nabi
Ibrahim meninggalkan Ismail bersama ibunya Siti Hajar di sebuah lembah sempit
yang kini dikenal sebagai Mekkah. Awalnya Ismail dan ibunya tinggal hanya
berdua di lembah tandus tersebut. Namun setelah mata air zam-zam memancar,
berduyun-duyunlah orang mencari air dan meminta izin untuk mendirikan pemukiman
di tempat Ismail dan ibunya tinggal tersebut. Atas izin Hajar, dibukalah tempat
itu emnjadi sebuah perdesaan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah
perkotaan. Ismail dan Hajar tetap dianggap sebagai penguasa di kota tersebut.[22]
Nabi
Ismail ditinggalkan di Mekkah atas permintaan Sarah, Sarah meminta agar Ismail
dan Hajar dijauhkan dari beliau. Dan sebelum Nabi Ibrahim meninggalkan Ismail,
beliau meminta kepada Allah agar menjaga dan menyayangi keduanya (QS. Ibrahim :
37). Namun ketika persediaan air Hajar dan Ismail habis, maka Hajar mencari
sumber air dengan melihat dari atas gunung, akan tetapi Hajar sama sekali tidak
melihat sumber air. Kemudian Hajar meminta pertolongan kepada Allah dan kembali
kepada Ismail yang sedang menangis. Hajar memukul tanah dengan kaki Ismail,
maka memancarlah mata air, yaitu mata air zam-zam.[23]
Nabi
Ismail menikah dengan salah seorang perempuan mekkah. Ketika Ibrahim datang ke
Mekkah hendak mengunjungi Ismail, Ibrahim tidak bertem dengan Ismail melainkan
dengan perempuan kasar lagi keras hatinya. Sehingga Ibrahim berpesan agar
Ismail meninggalkan wanita itu melalui pesannya kepada wanita tersebut, lalu
Ibrahim pergi. Kedua kalinya Ibrahim datang dan tidak juga menemui Ismail, tapi
bertemu dengan wanita yang baik dan lembut. Sehingga Ibrahimpun berpesan kepada
wanita itu untuk menyampaikan pesannya untuk selalu tetap bersamanya, Nabi
Ismail dikaruniai 12 anak.[24]
Setelah
selang beberapa waktu yang cukup lama, Ibrahim datang lagi ke Kota Mekkah,
Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk membangun Baitullah di Mekkah dan
Ibrahim eminta pertolongan Ismail. Dan Ismail pun meminta agar ayahnya segera
menjelankan apa yang diperintahkan oleh Allah.[25]
Nabi
Ibrahim bermimpi bahwa beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya yaitu
Ismail. Ismail menyerahkan diri kepada ayahnya agar ayahnya taat kepada perintah Allah (Q.S
Ash-Shaaffat:102). Setelah Ibrahim
melaksanakan seperti apa yang diperintahkan oleh Allah, maka kemudian Allah
mewahyukan agar Ibrahim menggagalkan, dan Allahpun menebusnya dengan domba
besar sebagai gantinya.[26]
Nabi
Ismail meninggal di Palestina pada Usia 137 tahun, dan ada pula referensi lain
mengatakan bahwa beliau meninggal di Mekkah, dan dimakamkan di dekat Hajar
Aswad Baitul Haram.[27]
C.
Nilai-Nilai
Kehidupan Yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Ibrahim Dan Nabi Ismail
Jika
dilihat dari klasifikasinya kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalam Al-Qur’an termasuk kedalam qashashul
anbiya’ (kisah nabi-nabi). Qashashul anbiya’ adalah kisah para nabi yang
diceritakan di dalam Al-Qur’an tentang mukjizat para nabi yang diberikan oleh
Allah kepada mereka, dakwah para nabi, dan tahapan perkembangannya, serta
akibat yang akan diperoleh oleh orang-orang yang menerima dakwah mereka dan
juga balasan terhadap mereka yang mendustakannya. Kemudian ada juga yang
menyebutkan bahwa kisah para nabi ini
adalah kisah yang ditinjau dari segi materi.[28]
Sedangkan Ahmad Jamal al Umry mengatakan bahwa kisah para nabi yang terdapat di
dalam Al-Qur’an adalah kisah Tarrikhiyat. Adapun kisah tarrikhiyat merupakan
cerita tentang tempat, peristiwa, serta orang yang terlibat dalam peristiwa
tersebut.[29]
Terlepas
dari klasifikasi, apakah itu kisah para nabi adalah qashashul anbiya’, kisah
dari segi materi, ataupun kisah tarrikhiyat. Kisah para nabi tetaplah sejarah
yang menceritakan tentang perjalan para nabi, mukjizat yang diterima para nabi,
rintangan yang dihadapi para nabi dalam menegakkan kebenaran. Yang mana semua
itu dapat dijadikan ibrah dalam kehidupan, bermanfaat untuk dunia, dan berguna
di akhirat.
Dalam
kitab suci Al-Qur’an, banyak kisah yang disebutkan berulang-ulang bahkan sampai
beberapa puluh kali. Kisah nabi Ibrahim disebutkan 99 kali sedangkan kisah nabi
Ismail disebutkan 12 kali.[30]
Adapun di dalam referensi lain bahwa nama nabi Ibrahim disebutkan 62 kali dalam
24 surat dalam Al-Qur’an.[31]
Peristiwa
dari kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an merupakan gambaran realitas dan
logis bukan hanya sekedar kisah fiktif, kisah-kisah dalam Al-Qur’an tersebut
juga dapat memberikan imajinatif, kesejukan, budi pekerti yang baik, renungan,
pemikiran, kesadaran dan ibrah dalam kehidupan umat manusia.[32]
Menurut Al-Suyuti kisah dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari sejarah untuk
dijadikan pelajaran dan peristiwa dalam Al-Qur’an dapat diambil manfaatnya.[33]
Nilai pendidikan
intelektual lebih terasa
jika
pembaca merenungkan
kisah Nabi Ibrahim ketika
ia
menemukan Tuhan yang
sebenarnya melalui proses berpikir
dan
perenungan. Ibrahim akhirnya
dapat menyimpulkan
siapa sebenarnya Tuhan yang patut
disembah itu. Mula-mula Ibrahim melihat bintang-bintang di malam gelap gulita.
Ia berkata: “Inilah Tuhanku” (QS. Al An’aam 76). Lalu bintang- bintang itu tenggelam ketika melihat bulan terbit, kemudian tenggelam, melihat matahari terbit, lalu terbenam. Dari berbagai kasus yang dialami
Ibrahim disertai dengan perenungan
terhadap fenomena alam, akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Secara lebih rinci, kisah pencarian Ibrahim terhadap Tuhannya.
Salah satu tujuan pokok diturunkannya
al-Qur’an adalah untuk
memperbaiki
akidah seseorang agar kembali
kepada agama tauhid, tidak menyekutukan
Tuhan. Oleh sebab itu, ada
sebagian kisah yang mengandung dan memperkokoh
nilai-nilai pendidikan tauhid.[34]
Jika
direlevankan dengan kehidupan saat ini maka dapat dilihat beberapa implementasi
kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam beberapa spesifikasi :
1. Konselor
Psikologi dianggap sebagai sebuah
disiplin ilmu yang resmi muncul pada tahun 1879, yang mana ketika itu Wilhelm Woundt membuka
Institut psikologi di Universitas Leipzik. Lalu di tangan Willian James
(1842-1910) sebagai pelopor pertama di Amerika Serikat, berhasil membuat
psikologi berkembang pesat sebagai satu disiplin ilmu yang diakui dan diperhitungkan.[35]
Dan mulanya gerakan konseling dikembangkan oleh Frank Parson (1908) dengan
membuat sebuah lembaga untuk memberikan bantuan kepada masyarakat pada
zamannya.[36] Psikologi dan bimbingan konseling merupakan
disiplin ilmu yang terkait tentang proses pemberian bantuan kepada orang
melalui pendekatan terapis dan juga memberikan bimbingan dan nasihat.
Jika ditinjau ulang hal tersebut di atas
sudah dilakukan oleh Nabi Ibrahim jauh sebelum Wilhelm Wound dan Frank Parson
mengembangkan psikologi dan juga bimbingan konseling dalam memberikan bantuan
kepada orang. Nabi Ibrahim sudah memberikan nasihat atau bimbingan 2000 SM
Kecerdasan manusia dibagi tiga yaitu
cerdas inteleqtual, cerdas emosional, dan cerdas spiritual.[37]
Kecerdasan ESQ adalah modal yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim dalam memberikan
Nasihat dan Bimbingan kepada ayah, kaum, raja, dan anaknya. Hal tersebut dapat
dilihat dari cara nabi Ibrahim dalam menjalani perjalanan hidupnya.
Sebagai seorang konselor tidak hanya
harus memiliki kecerdasan, namun juga harus memiliki kepribadian yang bagus.
Yang mana kepribadin disini menurut Phares adalah pola yang khusus dari
pikiran, perasaan, dan tingkah laku dari
seseroang yang dapat membuatnya berbeda dengan orang lain, kepribadian tersebut
tidak berubah dalam kurun waktu dan situasi.[38]
Nabi Ismail merupakan salah satu yang
dapat dijadikan contoh oleh seorang konselor, yiatu seorang yang jujur dan
dapat dipercaya. (QS. Maryam :54) dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
sebutlah dalam Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada NAbi Muhammad SAW bahwa
Ismail tidak pernah berdusta dan tidak pernah mengingkari janji.
Hal
lain yang dapat dijadikan pelejaran untuk seorang konselor dari kisah Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail yaitu sifat-sifat yang ditunjukkan oleh nabi Ibrahim
dan nabi Ismail seperti sabar, ikhlas, gigih, pantang menyerah, patuh atau taat
dan bersyukur atas nikmat Allah.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan yang baik merupakan salah
satu contoh yang diberikan oleh Nabi Ibrahim kepada seluruh manusia (QS.
Al-Baqarah : 124) dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diujiTuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang yang zalim".
Rasa percaya diri yang dimiliki Ibrahim
dan Ismail dalam memberikan da’wah kepada kaumnya, sehingga hal itu memberikan
pengaruh. Pengaruh yang besar ditunjukan oleh banyaknya kaum yang mengikuti
monotheisme beliau. Memilki kesabaran dalam menghadapi berbagai tantangan,
memiliki perilaku yang asertif yakni rasa percaya diri yang baik, dapat
mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut,
berkomunikasi dengan orang lain dengan lancar.[39]
Pribadi yang disiplin juga ditunjukan oleh Nabi Ibrahim dan juga Nabi Ismail
dalam ketaatan terhadap perintah Allah.
Nilai-nilai lainnya yang dapat
diteladani dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah nilai norma social
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, contohnya kisah nabi Ibrahim yang
menyeru kaumnya untuk berhenti menyembah berhala-berhala agar kembali ke
kebenaran yang masuk akal. Dan juga sifat musyawarah yang ditunjukan oleh Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail.
3. Nilai-nilai
dalam Keluarga
Rasa
saying yang ditunjukan oleh Ibrahim kepada kita yaitu dimulai dari keluarga,
yang mana ketika nabi Ibrahim mengetahui tentang kebenaran tuhan orang yang
pertama kali diberikan dakwah oleh nabi Ibrahim adalah ayahnya. Walaupun pada
akhirnya nabi Ibrahim akan dibunuh nabi Ibrahim tetap memberikan kasih
sayangnya kepada keluarganya melalui do’a.
Rasa
kasih sayang kepada istri juga ditunjukan nabi Ibrahim lewat kecembuan Sarah,
sehingga dengan perintah Allah nabi Ibrahim pun dengan besar hati menjauhkan
Ismail darinya. Walaupun sudah jauh nabi Ibrahim tetap mengunjungi nabi Ismail
dan Hajar.
Hubungan
yang baik antara orang tua dengan anak adalah pelajaran yang dapat dijadikan
pedoman dari kisah Nabi Ibrahim dan Nsbi Ismail, tanggung jawab sebagai orang
tua yang ditunjukkan oleh Ibrahim kepada Ismail, memberikan nabi Ismail pesan
untuk menggganti ganggang pintu. serta rasa hormat dan kepatuhan sebagai
seorang anak kepada orang tua yang ditunjukkan oleh Ismail. (QS As- Shafat :
102) Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang
sabar". Jadi nilai-nilai yang
diterapkan oleh nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam keluarga adalah bentuk
ketaatan beliau terhadap perintah Allah.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPILAN
Dari uraian Bab, Sub Bab terdahulu yang telah selesai penulis
uraikan tentang kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Al-Qur’an. Maka
sampailah penulis pada tahap terakhir yaitu penyampaian kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengertian kisah dalam Al-Quran, Maka dari
beberapa pengertian penulis menyimpulkan tentang pengertian kisah dalam
Al-Qur’an adalah cerita tentang masa lalu baik itu berupa cerita nabi, keadaan
umat zaman dulu, peristiwa-peristiwa zaman dulu yang sarat akan nilai,
kebaikan, dan pelajaran. Sebagai produk wahyu, tentu saja kisah dalam Al-Qur’an
berbeda dengan kisah dongeng, novel atau cerpen hasil kreasi manusia.
Kisa-kisah dalam Al- Qur’an merupakan segaja bentuk gambaran sejarah yang mana
terdapat nilai-nilai kebajikan untuk memperbaiki kebejatan.
2. Narasi
tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail secara singakat dalam bab sebelumnya
adalah kisah kelahiran nabi Ibrahim, perjanan hidup yang penuh tantangan,
menikah dengan siti sarah, sampai tua renta tidak mempunyai anak, kemudian
Sarah menyusuh Ibrahim menikah dengan budaknya Hajar, maka lahirlah Ismail.
Kisah penyembelihan dan terbangunya ka’bah.
3.
Nilai-Nilai
Kehidupan Yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Ibrahim Dan Nabi Ismail, yakni
banyak sekali pelajaran yang dapat di ambil baik itu untuk masyarakat umum,
atau berbagai elemen masyarakat. Contohnya untuk sorang konselor, pemimpin,
anak, bahkan orang tua.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustian,
Ari Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual : ESQ.
Jakarta: Arga, 2001.
Aizid,
Rizem. Ibrahim Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa, 2015.
Asy-Syirbasi,
Ahmad. SejarahTafsir Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Chirzin,
Muhammad. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima
Yasa, 2003.
Fadlol,
Ahmad, Anang Muqoddam, and Dkk. Studi Al-Qur’an Teori Dan Metodologi.
Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta, 2011.
Fikri,
Ali. Jejak-Jejak Para Nabi. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Izzan,
Ahamd. Ulumul Qur’an. Cet. IV. Bandung: Tafakur, 2011.
Katsir,
Ibnu. Kisah Para Nabi. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
L.
Gibsom, Robert, and Marianne H. Mitchell. Bimbingan Dan Konseling.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Mana,
Khalil Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Litera Antar Nusa,
1996.
Murdodiningrat.
Kisah Teladan 25 Nabi Dan Rasul Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
mursidi,
khamid Mashudi, and Dkk. Studi Al-Qur’an Teori Dan Metodologi.
Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta, 2011.
Mustaqim,
Abdul. “Kisah Al-Qur’an : Hakekat, Makna, Dan Nilai-Nilai Pendidikannya.” Ulumuna
XV (2011).
Nursalim,
Mochamad. Bimbingan Dan Konseling Pribadi Dan Sosial. Yogyakarta: Ladang
Kata, n.d.
Shabuniy,
Muhammad Ali Ash. Kenabian Dan Para Nabi. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993.
Shihab,
Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 2007.
[6] Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2007), 29.
[8] mursidi, khamid Mashudi, and Dkk,
Studi Al-Qur’an Teori Dan Metodologi (Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta,
2011), 176.
[9] Ahmad Fadlol, Anang Muqoddam, and
Dkk, Studi Al-Qur’an Teori Dan Metodologi (Yogyakarta: Idea Pres
Yogyakarta, 2011), 117.
[11] Murdodiningrat, Kisah Teladan
25 Nabi Dan Rasul Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 313.
[28]
Fadlol, Muqoddam, and Dkk, Studi
Al-Qur’an Teori Dan Metodologi, 120.
[29]
mursidi, Mashudi, and Dkk, Studi
Al-Qur’an Teori Dan Metodologi, 178.
[30]
mursidi,
Mashudi, and Dkk, 179.
[31]
Aizid, Ibrahim Nabi Kekasih
Allah, 242.
[32]
mursidi, Mashudi, and Dkk, Studi
Al-Qur’an Teori Dan Metodologi, 177.
[33]
Fadlol, Muqoddam, and Dkk, Studi
Al-Qur’an Teori Dan Metodologi, 118.
[34]Abdul
Mustaqim, “Kisah Al-Qur’an : Hakekat, Makna, Dan Nilai-Nilai Pendidikannya,” Ulumuna
XV (2011): 275–77.
[35] Robert L. Gibsom and Marianne
H. Mitchell, Bimbingan Dan Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 6.
[36] L. Gibsom
and H. Mitchell, 8.
[37] Ari Ginanjar Agustian, Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual : ESQ (Jakarta: Arga,
2001), 57.
[38] Mochamad Nursalim, Bimbingan
Dan Konseling Pribadi Dan Sosial (Yogyakarta: Ladang Kata, n.d.), 161.
[39] Nursalim,
107.